“Kosinoto and the
princess Leisana 2 : Obat yang
Mujarab”
Karya
: Aaf Mahfudli Firdaus
Lama ku menderita penyakit kulit yang terus menerus
menggerogotiku kali ini. Tapi aku tak putus asa kali ini. Secara diam-diam aku
pun mengunjungi tabib istana yang terletak tak begitu jauh dari bangunan istana
Kosinoto. Dengan sedikit penyamaran aku pun berhasil berada didepan rumah sang
Tabib yang ternyata masih sepi dan pintunya pun masih tertutup.
Dengan sabar aku mengetuk pintu rumah sang Tabib
beberapa kali. Namun tak kunjung pula jawaban yang terdengar dari dalam rumah.
Aku benar-benar heran mengapa saat mentari berada diubun-ubun seperti ini sang
Tabib masih saja terlelap dalam tidurnya. Tak sengaja aku pun mendorong pintu
kayu rumahnya yang nampak sudah usang. Deg. Perasaanku mulai merasakan hal yang
tidak mengenakkan.
Perlahan ku mulai melangkahkan kakiku kedalam rumah
sang tabib yang penuh dengan ornamen-ornamen kepala hewan yang ditancapkan
didinding rumahnya. Tembok-tembok yang berwarna gelap pun semakin membuat
suasana rumah menjadi lebih menakutkan. Ku coba sesekali memanggil nama sang
tabib namun tak juga ada jawaban yang terdengar saat itu.
Kulihat terdapat sepucuk surat yang tergeletak dimeja
tengah sang tabib. Perlahan surat itu kubuka sambil sesekali aku menoleh
kesekelilingku yang mulai terasa menakutkan. Namun alangkah mengejutkan saat ku
toreh kearah samping. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaach”. Teriakku memenuhi
ruangan kecil tabib yang biasa digunakan untuk meracik obat-obatannya.
Ya Tuhan. Aku pun syok saat itu. Melihat tubuh sang
tabib terbujur kaku di ubin rumahnya. Entah apa penyebab sang tabib tewas
seperti itu. Mulutnya pun berbuih cukup banyak dan aku taksir jika sang tabib
tewas karena bunuh diri.
Segera ku masukkan surat itu kedalam saku bajuku. Dan
aku berlari keluar rumah tabib sambil berteriak meminta pertolongan warga
kosinoto. Namun sebelum itu aku pun terkejut saat menemukan sehelai sobekan
kain berwarna merah tepat dibawah lemari obat-obatan persediaan sang tabib.
Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengambil kain tersebut.
Kabar meninggalnya sang tabib langsung terdengar
keseluruh daerah Kosinoto serta sampai pula pada telinga raja Kosinoto. Tak
begitu lama sejak ditemukannya sang tabib tewas olehku, jasad tabib pun segera
disemayamkan di komplek pemakaman khusus para pegawai istana. Namun sayangnya,
upacara pemakan sang tabib tak memakan waktu banyak dan tidak terlalu
diistimewakan. Padahal jasanya sangat dibutuhkan diruang lingkup istana ini.
Malam harinya aku pun dengan rasa penasaran membuka
surat yang ditulis oleh sang tabib itu. Tak terlalu banyak dan tak banyak pula
embel-embelnya. Namun aku hanya mengerutkan kening dengan seksama dan kaget
saat membacanya.
“Aku sangat menyesal telah membuat sang putri
menderita. Tak begitu layak jika aku harus hidup dan melihat sang putri
menderita karenaku. Aku tak mau hal ini sampai menyebar keseluruh daerah.
Karena obat untuk menyembuhkannya hanya satu. Yaitu air liur seorang pria yang
dengan tulus mencintai sang putri.”
Akantetapi hal ganjil begitu terasa saat melihat
dibagian bawah surat terdapat sedercak darah merah yang sudah mengering. “Ini
sangat membingungkan. Surat ini terdapat sedercak darah. Lalu tepat dibawah
surat ini terdapat sobekan kain merah pula. Apa maksudnya ini?”
Keesokkan harinya aku kembali menemui Riza dan
menceritakan kejadian yang menimpaku kemarin siang. Aku juga memberikan surat
tabib pada Riza yang entah apa maksud dari surat itu. Kulihat ibunya Riza pun
ikut membacanya dan langsung berkomentar. “Lei..ini tidak salahkah bahwa obat
yang bisa menyembuhkanmu air liur pria?”
“Aku mohon ibu jangan berbicara keras-keras. Kalau
soal itu aku juga tidak tahu bu”
“Kalau menurut pengamatan sekilasku. Tabib mati bukan
karena bunuh diri tapi…”
“Jadi maksud kamu dia dibunuh?tapi tak ada siapa-siapa
saat itu di tkp Riza”
Riza pun menghela nafasnya cukup dalam. Matanya
memandangku seolah ingin memberikan penjelasan maksudnya. Aku pun memandang
matanya juga yang langsung membuatku seakan meleleh ditatapnya. Oh Tuhan rasa
apakah ini.
Keesokkan harinya Istana pun disibukkan dengan satu
kegiatan yang membuatku sedikit syok. Yaitu sayembara. Dalam ujarannya sang
Raja menginginkan siapa saja yang dapat menyembuhkan penyakit yang diderita
anaknya. Jika perempuan akan dijadikan saudara sementara jika laki-laki akan
dijadikan seorang pangeran dan menikah denganku. Satu harapanku kali ini. Yaitu
Riza yang memenangkan kompetisi ini.
Beberapa hari ini, berduyun-duyunlah orang-orang yang
haus akan harta berusaha menyembuhkan penyakitku. Tapi hasilnya pun nihil.
Belum ada yang bisa menyembuhkan penyakitku. Dan kini giliran pangeran Seitha
yang datang. Aku benar-benar takut jika dia berbuat curang kali ini. Saat ku
sedang duduk diatas kursi kerajaan. Sang pangeran itu pun memberikanku satu
buah gelas sloki berisikan air liur.
Aku kaget kali itu. Bagaimana bisa ia tahu obat yang
dapat menyembuhkan penyakitku. Aku benar-benar ingin muntah jika harus
meminumnya. Melihatnya saja enggan. Apalagi harus meminumnya.“Apa kau gila
Seitha, apa khasiat dari air liurmu itu?aku jijik jika harus meminumnya”
Pangeran Seitha dengan sabar untuk memintaku meminum
air liurnya itu. Sang Ayah yang memang sangat berantusias untuk mendapatkan
Seitha terus saja memaksaku untuk menuruti apa kemauan dari Seitha. Astaga. Apa
iya aku harus muntah kali ini.
Diminumnya lah langsung air liur itu dengan cepat.
Mual rasanya kali ini yang terasa olehku. Tak enak juga kalau aku sampai muntah
saat ini. Tapi perutku terus saja memaksaku untuk mengeluarkan isi perut yang
sempat masuk barusan. Dan akhirnya? Keluar sudah.
Pangeran Seitha pun kecewa dengan pengobatan yang
menurutnya mujarab itu. Begitu pun dengan sang Ayah,sangat kecewa besar. Karena
merasa kesal. Seitha pun langsung membanting gelas yang dibawanya kelantai
istana. Pergilah ia seketika.
“Putriku..apa yang dapat menyembuhkan penyakitmu?semua
orang telah berusaha menyembuhkanmu, bahkan Seitha pun begitu tapi nampaknya
belum juga ada reaksi sembuh darimu”
“Ayah..Izinkan Riza untuk menyembuhkan
penyakitku,semoga saja dia bisa menyembuhkan penyakitku. Aku mohon ayah”
Mendengar itu Ayah pun sedikit geram padaku. Seolah
kaget dan kesal mendengar nama Riza ditelinganya. Dari nada bicaranya seolah
Ayah merendahkan Riza bahwa pemuda desa itu takkan bisa menyembuhkan
penyakitku. “Hahahaha apa yang kau harapkan dari pemuda desa itu? Takkan bisa
ia mengikuti sayembara ini. Bisa apa dia?”
“Ayah..jangan pernah kau merendahkan martabat orang
lain. tak ada salahnya kita mencoba terlebih dahulu”
Karena atas permintaanku. Akhirnya Riza pun dipanggil
kehadapanku dan Ayah. Dengan sangat santun dan sederhana Riza pun berujar.
“Tuan Raja dan tuan putri. Izinkan hamba untuk mencoba menyembuhkan penyakit
Putri Leisana. jika saja sang putri dapat hamba sembuhkan. Hamba mohon agar
hamba dan ibunda segera dibebaskan”
“Tapi jika saja tidak bisa kau sembuhkan. Kepalamu lah
yang jadi taruhannya”
Mendengar itu Aku pun langsung syok dan melayangkan
protes yang sangat keras pada Ayah. Aku tak rela jika Riza harus berakhir
ditangan Ayah begitu saja. “Tidak. Biarkan dia tetap hidup Ayah. Aku tak mau
ada nyawa yang hilang dalam sayembara ini.”
Akhirnya Ayah pun diam saja kali ini. Sementara itu
Riza memintaku untuk berdiri dihadapannya. Dipegang eratlah kedua tanganku.
Ditataplah bola mataku dengan penuh perasaan. Entah apa yang aku rasakan kali
ini ketika Riza tepat didepanku. “Tuan Putri..maafkan aku jika aku berbuat
tidak sopan padamu. Aku harus menciummu karena itu jalan satu-satunya obat yang
mujarab bagimu”
Mendengar itu Ayah langsung mendongak kaget. Dicekal
lah Riza saat itu juga. Cukup keras sang Ayah menentang kami berdua.
“Riza,berani sekali kau akan berbuat begitu pada putriku?Jangan harap aku
memberimu izin untuk melakukan itu”
“Ayah…biarkan dia berusaha menyembuhkanku dengan
caranya sendiri”
“Tapi itu bukan pengobatan namanya. Tidak. Ayah tidak
memberi izin atas itu”
“Maaf Tuan Raja. Jika hamba sangat lancang melakukan
itu. Tapi hamba mohon biarkan hamba menyembuhkan putri dengan cara hamba
sendiri. Percayalah”
Ayah pun melempar tongkat kekuasaanya pada lantai
cukup keras. Pertanda emosinya sudah meluap. Namun Riza tak menyia-nyiakan
waktu sempit yang tersisa untuknya kali ini. Karena tak mau melihat kondisi
yang cukup berat bagiku kali ini. Aku pun berusaha memejamkan mata.
Tak terasa. Sebuah perasaan mendebarkan datang padaku
begitu saja. Bibirku kini terasa begitu bersentuhan yang teramat sensitif
tentunya. Ya Tuhan. Apa yang akan Riza perbuat padaku. Terasa sudah bibir ini
basah. Nafas ini seakan terhenti sejenak. Dan masuklah sebuah cairan tak berasa
yang entah apa itu langsung tertelan dimulutku. Dan setelah itu menghilanglah
rasa bersentuhan bibirku ini dalam seketika. Oh my God.
Ku buka mataku secara perlahan. Dan Aku kaget ketika
melihat Ayah yang sedang menghakimi Riza dengan emosinya. Sumpah serapah Ayah
pun seakan tak rela melihat putrinya diperlakukan seperti tadi olehnya. Namun
keajaiban kini mulai terjadi padaku. Disaat Riza berdiam pasrah dipukuli oleh
Ayah. Aku pun merasa penyakit kulitku semuanya rontok dengan perlahan. Rasa
gatal dan perih seketika hilang dengan ajaibnya.
“Ayahhh….Lihat aku ayah lihat”
“Cepat Masuk kedalam kamar nak. Ayah masih ada urusan
dengan pria kampung ini”
“Ayahhhhhh hentikan. Aku sudah sembuh
sekarang,lihatlah”
Sang Raja pun menoleh padaku dengan tatapan yang
seolah tak percaya melihatku telah sembuh. Senyumnya yang terpancar seolah
membuktikan bahwa ucapan Riza tidak pernah bohong. Dengan kaki yang sedikit
gemetar Raja pun berlari kearahku dan langsung memelukku. Sementara itu Riza
kini terbaring kesakitan karena aksi Ayah yang semena-mena terhadapnya.
“Syukurlah jika kau telah sehat Leisana. Aku bahagia
melihatmu seperti ini”pekik Riza dalam qalbunya.
Lega rasanya saat tahu aku dapat sembuh seperti yang
diharapkan. Namun aku tersadar saat menoleh
kearah Riza yang kini sedang berjalan terpincang meninggalkan aku dan
Ayah. Sentak aku berteriak pada Riza,”Riza…Mau kemana kau?Ini belum berakhir
dan aku mau kamu tetap ada disini”,”Ayah…sesuai dengan janjimu dulu,Tikahkan
aku dengan Riza yang telah menyembuhkanku”lanjutku.
“Tidak…Pernikahanmu takkan pernah terjadi dengan Anak
desa itu. Ayah tidak merestui kau menikah dengannya. Kau akan tetap menikah
dengan Seitha secepat mungkin”
Karena merasa kesal dan kecewa. Aku pun langsung
melepaskan pelukan Ayah dengan cukup keras. Nada bicara yang tinggi sentak
membuat Ayah terkejut mendengarnya. Kening yang berkerut tajam seolah
menjelaskan bahwa kini aku sedang marah
pada Ayah. Perkataan yang biasanya halus kini keluarlah sumpah
serapahnya.“Ayah. Sejak kapan kau tega mengingkari janjimu sendiri?Apa kau tak
malu sebagai Raja yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat disini?yang
jelas Aku tak sudi untuk menikah dengan laki-laki pengecut semacam Seitha. Lihatlah
dia Ayah,dia mau menemaniku disaat aku sakit ataupun sehat. Tapi dengan
Seitha?Jangan harap Ayah yang terhormat”.
“Pengawal…Segera Deportasi pemuda ini beserta ibunya.
Jangan pernah ia menginjakkan kakinya ditanah kekuasaanku untuk kedua kalinya”
“Tapi Ayah?”
Riza pun berusaha menenangkanku untuk tidak meneruskan
perkataanku yang malah akan memperkeruh suasana. Tangannya menisyaratkan agar
aku segera diam. “Tidak apa-apa Putri,jika kita berjodoh. Kelak kita akan
bertemu kembali. Percayalah”
Tanpa pikir panjang pengawal pun langsung menyeret
paksa Riza untuk keluar Istana. Dan jika Riza benar-benar dideportasi,maka aku
tidak akan menemuinya lagi untuk selamanya. Oh Tuhan aku tidak ingin ini sampai
terjadi. Apa yang akan aku lakukan untuk menyelamatkan Riza. Aku pun kini
dirundung kesedihan dan kenestapaan.
“Ayah,jika itu yang kamu mau, jangan salahkan aku jika
suatu hari keluarga ini berpecah belah”
Setelah berujar seperti itu aku pun pergi meninggalkan
Ayah dengan rasa pedih dan kecewa. dan aku teringat perkataan Riza "Jika kita berjodoh kelak kita akan bertemu kembali",dan kata-kata itu yang terus saja terngiang didalam pikiranku.
The End
0 komentar:
Posting Komentar